Muhammadiyah Perjuangkan Kontestasi Gender, Identitas Dan Eksistensinya

Siti Ruhaini Dzuhayatin (48 tahun) mengatakan, sebagai organisasi sosial politik yang beridentitas Islam, Muhammadiyah  dalam kiprahnya terus melakukan melakukan pergerakan-pergerakan berkemajuan dan pembaharuan dengan metode yang kontekstual. Hingga saat ini Muhammadiyah mengidentifikasi diri sebagai organisasi pergerakan Islam modern.  Identitas Muhammadiyah  seperti ini, telah memberikan pengaruh terhadap perjuangan kesetaraan gender. 
 
 Perjuangan kesetaraan gender menjadi bagian yang integral dari identitas Muhammadiyah. Kelanggengan ideologi gender partnership dalam tubuh Organisasi Muhammadiyah telah menjadi rejim selama seratus tahun perjuangan. Karena dipertahankan sebagai identitas otentik, maka dinamika kontestasi ideologi gender dalam perjuangan Muhammadiyah juga hanya bersifat perluasan peran tanpa menggeser status gender secara substantif.  Gelanggengan rezim gender dalam Muhammadiyah ditopang oleh relasi dialektis antara nilai dasar pada ranah teologis dan perilaku kolektif pada ranah praktis.

Demikian hasil riset Dosen Fakultas Syari’ah UIN Sunan  Kalijaga, yang kemudian dirangkumnya menjadi karya disertasi dengan mengangkat judul “Rezim Gender Muhammadiyah-Kontestasi Gender, Identitas dan Eksistensi” Karya Doktoral Mantan Ketua PSW UIN ini dipresentasikan di hadapan tim penguji antara lain: Prof. Dr. Munir Mulkhan, Prof. Dr. Muhadjir Darwin, Dr. Partini, Dr. Sugeng Bayu Wahyono dan Dr. Suharko, serta promotor antara lain : Prof. Dr. Heru Nugroho, Prof. Dr. Muhtar Mas’oed dan Dr. Siti Syamsiatun. Sidang Promosi dipimpin Prof. Dr. Tadjuddin Noer Effendi di Gedung Promosi Doktor Fisipol Universitas Gajah Mada.

Hasil riset Doktoral ibu dengan dua orang putra ini lebih jauh mengungkap, meski nampak permanen dalam keberadaan Muhammadiyah, ideologi gender Muhammadiyah ternyata menyimpan fregmentasi dengan munculnya realitas ganda, yang menyebutkan bahwa laki-laki sebagai kepala keluarga, perempuan/istri berperan sebagai suborninat komplementer dan realitas praktis yang mesih mencerminkan senior-yunior partnership antara laki-laki dan perempuan.  Artinya, ada kesenjangan normatif–teologis dari yang sesungguhnya ingin diperjuangkan oleh Muhammadiyah. Frakmentasi kesenjangan ini kemudian menguatkan kelompok progresif dalam menguatkan ideologi gender sebagi kemitra-setaraan antara laki-laki dan perempuan.

Hasilnya, Muktamar Muhammadiyah ke 46 tahun 2010 kemarin, dapat dimaknai sebagai langkah Muhammadiyah melintas zaman, karena pergeseran isu gender yang telah mendekati ideologi kemitra-setaraan yang terjadi pada ranah teologis dan praksis secara bersamaan. Pada ranah teologis, pengakuan imam shalat perempuan  (dengan catatan terbatas pada konteks tertentu) telah mampu meruntuhkan superioritas laki-laki yang absolut dan omnipresent. Pada ranah praksis, masuknya perempuan dalam pimpinan pusat Muhammadiyah, artinya ideologi gender Muhammadiyah telah mampu mendobrak eksklusifitas maskulin perserikatan yang sudah bertahan selama seratus tahun. Sejauh mana pergeseran rezim gender dalam Muhammadiyah ini akan berlanjut, tergantung sejauh mana kelompok progresif dalam Muhammadiyah ini  (yang sesungguhnya hanya merupakan kelompok periferi) mampu terus memperjuangan pengarusutamakan ide kesejahteraan gender dalam perserikatan, jelas Ruhaini.

Hasil riset putri kelahiran Blora ini juga mengungkap bahwa ide gender Muhammadiyah juga menjadi salah satu aspek fundamental relasi organisasi sosial dan Negara. Karena dari hasil temuan-temuan risetnya menyimpulkan bahwa gender merupakan faktor penghubung yang menjembatani hubungan Muhammadiyah dan kekuasaan politik, meski pada saat keduanya berseberangan secara oposisi-adversial pada dataran ideologis formal. Kedekatan ideologi gender Muhammadiyah dan budaya politik nasional, menurut promovendus, didukung fakta bahwa sebagian besar anggota Muhammadiyah menjadi pegawai negeri pada masa orde baru. Fakta ini membuka wacana peran ganda perempuan pada tahun 1980an. Fata ini juga menghasilkan referensi karya buku yang mengangkat tetang perempuan beraktifitas, produktif ekonomis pada komunitas Kauman, tertuang pada buku tuntutan Adabul Mar’ah Fil Islam. Ketika rezim orde baru bergeser menjadi lebih konservatif, Muhammadiyah juga menghasilkan Justifikasi karya buku tetang Toentoenan Manjadi Isteri Islam Yang Berarti.

Dari hasil riset tentang Perjuangan Kontestasi, Indentitas dan Eksistensi Gender Dalam Muhammadiyah, menurut Dosen yang pernah mendapatkan penghargaan Menteri Agama RI sebagai Dosen aktif produktif ini berkesimpulan bahwa kesetaraan gender antara laki-laki dengan perempuan akan terwujud dengan perjuangan yang terus menerus di dukung kesiapan modal sosio-kultural ekonomi perempuan. Artinya siapapun laki-laki atau perempuan yang memiliki kesiapan sosio-kultural dan ekonomi akan memiliki peluang memperoleh status yang lebih tinggi. Jika modalitas sosio-kultural ekonomi yang dimiliki antara laki-laki dan perempuan berimbang maka relasi gender akan berimbang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar