kepada Piet Hizbullah Khaidir, salahkah bila kami membela harga diri kami, harga diri perempuan-perempuan yang sudah kamu rampas kehormatannya !!!
Wanita dijajah pria sejak dulu
Dijadikan perhiasan sangkar madu
Namun adakala pria tak berdaya
Bertekuk lutut di sudut kerling wanita...
Petikan lagu fenomenal berjudul Sabda Alam ciptaan Hendri Rotinsulu itu memang menjadi inspirasi Elida Djazman (72) perempuan aktivis yang juga istri (alm) Djazman Al Kindi, Rektor pertama UMS. Meski usianya tak lagi muda, tapi semangatnya untuk terus memperjuangkan hak kaum perempuan tak pernah padam. Bahkan ia ingin sekali mewujudkan mimpi RA Kartini yang secara gigih berjuang mewujudkan emansipasi perempuan.
Dijadikan perhiasan sangkar madu
Namun adakala pria tak berdaya
Bertekuk lutut di sudut kerling wanita...
Petikan lagu fenomenal berjudul Sabda Alam ciptaan Hendri Rotinsulu itu memang menjadi inspirasi Elida Djazman (72) perempuan aktivis yang juga istri (alm) Djazman Al Kindi, Rektor pertama UMS. Meski usianya tak lagi muda, tapi semangatnya untuk terus memperjuangkan hak kaum perempuan tak pernah padam. Bahkan ia ingin sekali mewujudkan mimpi RA Kartini yang secara gigih berjuang mewujudkan emansipasi perempuan.
Elida yang lahir sebelum kemerdekaan Indonesia memang sejak kecil sudah ditempa pendidikan organisasi oleh ayahnya, Bustami Ibrahim. Di tanah kelahirannya Medan, Sumatra Utara, ayah Elida adalah sosok aktivis organisasi Islam kenamaan sekaligus rektor di Universitas Muhammadiyah Padang. “Saya sejak kelas 5 SD itu sudah ikut organisasi,” ujar Elida yang masih mempunyai ingatan kuat ini.
Dari SD hingga SMA Elida bergabung dengan organisasi Nasyiatul Aisyiyah. Di organisasi perempuan itu, ia banyak belajar tentang persoalan perempuan dan keterampilan praktis. “Kegiatannya itu menjahit, memasak, atau belajar bersama,” papar anak kedua dari tujuh bersaudara ini.
Setelah tamat SMA, Elida berkeinginan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi di luar daerahnya. Akhirnya ia pun memilih studi di Jurusan Psikologi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Muhammad Surakarta (sekarang UMS) pada tahun 1960. “Saya sangat berkonsentrasi dengan jurusan kuliah yang saya ambil,” ungkapnya dengan sedikit tertawa.
Saat menjadi mahasiswa, Elida bergabung dengan organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan menjabat sebagai Koordinator Badko HMI Jawa Tengah. “Dulu itu aktivis kampus diburu PKI (Partai Komunis Indonesia), termasuk saya,” kenangnya yang sempat tidak kuliah di tahun 1962 sampai 1963 karena suburnya PKI.
Setelah tamat SMA, Elida berkeinginan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi di luar daerahnya. Akhirnya ia pun memilih studi di Jurusan Psikologi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Muhammad Surakarta (sekarang UMS) pada tahun 1960. “Saya sangat berkonsentrasi dengan jurusan kuliah yang saya ambil,” ungkapnya dengan sedikit tertawa.
Saat menjadi mahasiswa, Elida bergabung dengan organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan menjabat sebagai Koordinator Badko HMI Jawa Tengah. “Dulu itu aktivis kampus diburu PKI (Partai Komunis Indonesia), termasuk saya,” kenangnya yang sempat tidak kuliah di tahun 1962 sampai 1963 karena suburnya PKI.
Kemudian setelah meninggalkan bangku kuliah, ia menjadi pengajar di berbagai tempat di antaranya pernah mengajar di SD Muhammadiyah Medan tahun 1958-1960, PGA Aisyiyah Medan tahun 1962, SPG Muhammadiyah Solo tahun 1967, dan SPG Muhammadiyah 3 Yogyakarta tahun 1982, SMK Muhammadiyah 4 Yogyakarta hingga pensiun tahun 2000.
Tokoh Wanita Indonesia
Tokoh Wanita Indonesia
Tepatnya di tahun 1964, Elida mulai menggeluti organisasi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) yang memang lahir di tahun itu dan menjadi Ketua Keputrian. Bahkan pada tahun tersebut, ia telah berani menyampaikan pidatonya di depan peserta Musyawarah Nasional (Munas) IMM. “Saya waktu itu masih sarjana muda, tapi saya berani pidato di depan banyak orang,” terangnya.
Dari IMM Elida banyak menyuarakan tentang hak-hak kaum perempuan. Persoalan perempuan menjadi santapannya setiap hari. “Pidato-pidato saya itu tentang perempuan, seperti menanggapi masalah TKW (Tenaga Kerja Wanita), perempuan yang dieksploitasi, maupun PSK (Pekerja Seks Komersial), dan saya berani menyuarakan itu,” ujarnya.
Pidato lainnya mengenai kondisi perempuan dibawakan Elida ketika mendapat undangan di Seminar Islam Fundamentalis dan Liberalis Se-Asia Tenggara di Indonesia. Di seminar itu ia mengupas habis tentang perempuan di tulisan-tulisannya. “Kok berani ya aku waktu itu...” ujarnya dengan muka seolah tak percaya.
Tak hanya lewat pidato, pernyataannya tentang persamaan hak perempuan cukup fenomenal saat Megawati Soekarnoputri mencalonkan diri sebagai presiden Indonesia. Saat ditanya awak media kala itu tentang kepemimpinan perempuan, dengan tegas Elida berujar, “Perempuan dan laki-laki itu sama tapi tak serupa, dan perempuan boleh memimpin negeri itu kalau memenuhi syarat (kredibilitas). Ya, syaratnya duniawi dan ukhrawi,” papar Elida yang waktu itu menjadi anggota MPR di tahun 1997-1999.
Karena kepekaannya terhadap persoalan perempuan, Elida masuk dalam daftar 28 Tokoh Wanita Indonesia bersama dengan Poppy Darsono, Mooryati Soedibyo, Martha Tilaar, dan lainnya. “Termasuk juga Brigjen Pol (Purn) Roekmini Koesoema Astoeti yang penari istana waktu Soekarno itu,” terang Elida sambil menunjukkan dokumen tokoh-tokoh wanita tahun 1970-an.
sumber ; http://edisicetak.joglosemar.co/berita/hak-kaum-perempuan-itu-harga-mati-72502.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar